Sabtu, 3 Disember 2011

Dampak Globalisasi



Globalisasi merupakan tantangan dan sekaligus peluang bagi eksistensi Agama Hindu dan budaya Bali. Tidak ada satu bangsa atau budaya apapun di belahan dunia ini yang tidak terlepas dari globalisasi atau era kesejagatan yang demikian tampak pesat mendera setiap bangsa. Berbagai produk budaya global telah merambah berbagai aspek kehidupan. Dampak positif budaya global sangat dirasakan oleh masyarakat Bali. Ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Demikian pula alat-alat komunikasi, transportasi, dan informasi yang sangat canggih memberikan peluang kepada masyarakat Bali yang memang sangat terbuka, untuk berkomunikasi ke mana saja di belahan bumi ini. Wawasan masyarakat Bali terbuka untuk memetik hal-hal yang baik dari manapun berasal dan dengan kemampuannya yang selektif dan adaptif, menggunakan hal-hal yang baik itu untuk merevitalisasi Agama Hindu dan budaya Bali. Di balik dampak positif globalisasi, tidak dapat dihindari adalah dampak negatif budaya global tersebut. Teknologi komunikasi dan informasi yang demikian maju memberi peluang masuknya berbagai pengaruh budaya asing, ke dalam rumah dan bahkan ke dalam kamar-kamar dan kepada pribadi masyarakat. Dampak negatif budaya global tersebut merupakan dampak dari kehidupan modern. Muncul berbagai masalah di antaranya masyarakat semakin individualis, kurangnya solidaritas. Berkembangnya penyakit sosial seperti prostitusi, penyalahgunaan obat-obat psikotropika (narkoba, ekstasi, dan sebagainya), pencurian, perampokan, dan bahkan pemerkosaan.
Globalisasi telah menimbulkan semakin tingginya intensitas pergulatan antara nilai-nilai budaya lokal dan global. Sistem nilai budaya lokal yang selama ini digunakan sebagai acuan oleh masyarakat tidak jarang mengalami perubahan karena pengaruh nilai-nilai budaya global, terutama dengan adanya kemajuan teknologi informasi mempercepat proses perubahan tersebut. Proses globalisasi telah pula merambah kehidupan agama yang serba sakral menjadi sekuler, yang dapat menimbulkan ketegangan bagi umat beragama. Nilai-nilai yang mapan selama ini telah mengalami perubahan yang pada gilirannya menimbulkan keresahan psikologis dan krisis identitas di kalangan masyarakat (Ardika, 2005:18).
Terlepas dari dampak positif dan negatif globalisasi tersebut, tampak beragam respon masyarakat Bali. Di satu pihak mereka optimis menghadapi tantangan globalisasi tersebut, di pihak yang lain ada yang sangat pesimis dan khawatir terhadap memudarnya berbagai nilai budaya Bali. Dalam situasi yang demikian, mantan Duta Besar India, Vinod C. Khanna dan Malini Saran yang telah beberapa kali mengunjungi Bali, dan menulis buku The Ramayana in Indonesia (2004) seperti dikutip oleh Dharma Putra dan Widhu Sancaya (2005:XV) menyatakan bahwa Bali dapat dijadikan satu contoh untuk Asia sebagai daerah yang memiliki kemampuan untuk mengadaptasi budaya tradisional agar relevan dengan budaya global.
The island of Balinever lost sight of this truth while facing up to the relentless onslaught of tourism on its rich artistic heritage, and can be an example to the rest Asia for its skill in adapting traditional cultural practices to suit a modern context.
Berdasarkan kutipan tersebut dapat diketahui bahwa Agama Hindu dan budaya Bali mampu menghadapi budaya globabal, namun demikian kekhawatiran sebagian masyarakat tentang dampak negatif globalisasi perlu diusahakan jalan untuk mengatasi dan mungkin mencegahnya.
Seperti telah disebutkan di atas, bahwa Agama Hindu menjadi jiwa dan sumber nilai budaya Bali, untuk itu kiranya perlu diketengahkan bagaimana sinergi dan dinamika Agama Hindu dengan budaya Bali dan melakukan fungsinya sesuai dengan budaya Bali. Sinergi dan dinamika Agama Hindu di Bali telah melahirkan berbagai kearifan lokal. Agama Hindu dan tidak menghapuskan tradisi masyarakat dan budaya Bali sebelumnya, tetapi sebaliknya memberikan pencerahan kepada budaya lokal. Berbagai kearifan lokal telah terbukti mampu menjadikan Agama Hindu dan budaya Bali eksis sepanjang masa.

Pemahaman dan Implementasi Agama yang sempit, keliru, dan inklusif
Dalam setiap penganut agama terdapat tiga kelompok umat yang memahami agama yang dianutnya itu dalam tiga sikap, yakni: 
(1) sangat toleran, humanis, dan inklusif. 
(2) sikap yang moderat, toleran, humanis, dan inklusif,
(3) sikap yang keras (radikal, ortodoks), tidak toleran, tidak  humanis, dan eksklusif. 
Munculnya sikap-sikap tersebut di atas, disebabkan oleh pemahaman terhadap agama yang dianutnya, yakni karena wawasan agama yang sempit, lokal, dan tradisional, berhadapan dengan sikap beragama yang rasional, global, dan universal. Lebih jauh dijelaskan beberapa pengertian dari istilah-istilah tersebut di atas.
Toleran berubah menjadi kata toleransi yang berarti menghargai perbedaan, perbedaan karena sumber ajaran, teologis, budaya, etika dan sebagainya. Humanis berasal dari kata human berarti manusia. Humanis berarti mengembangkan atau mengimplementasikan ajaran agama yang penuh dengan pemahaman terhadap kemanusiaan. Inklusif adalah sikap agama yang menekankan pengamalannya pada prilaku yang rendah hati, toleran, tidak arogan.  Moderat adalah sikap yang lembut, tidak lembek, dan tidak keras, sedang eksklusif adalah menekankan pengamalan agama pada bentuk luar, merasa paling benar, paling baik, dan tidak ada yang melebihi apa yang mereka anut, sedang ortodok, artinya adalah selalu berpegang kepada teks-teks atau kitab suci.
Radikalisme agama  menjadi pembicaraan yang tidak pernah berhenti selama satu dekade ini. Bentuk-bentuk radikalisme yang berujung pada anarkisme, kekerasan dan bahkan terorisme memberi stigma kepada agama-agama yang dipeluk oleh terorisme. Dalam hal ini Frans Magnis Suseno (Jawa Pos, 2002:1) menyatakan,  “Siapa pun perlu menyadari bahwa sebutan teroris memang tidak terkait dengan ajaran suatu agama, tetapi menyangkut prilaku keras oleh person atau kelompok. Karena itu, cap teroris hanya bisa terhapus dengan prilaku nyata yang penuh toleran”.
Menurut Ermaya (2004:1) radikalisme adalah paham atau aliran radikal dalam kehidupan politik. Radikal merupakan perubahan secara mendasar dan prinsip. Secara umum dan dalam ilmu politik, radikalisme berarti suatu konsep atau semangat yang berupaya mengadakan perubahan kehidupan politik secara menyeluruh, dan mendasar tanpa memperhitungkan adanya peraturan-peraturan /ketentuan-ketentuan konstitusional, politis, dan sosial yang sedang berlaku. Ada juga menyatakan bahwa radikalisme adalah suatu paham liberalisme  yang sangat maju (Far Advanced Liberalism) dan ada pula yang menginterpretasikan radikalisme sama dengan ekstremisme /fundamentalisme.
Pendeta Djaka Sutapa (2004:1) menyatakan bahwa radikalisme agama merupakan suatu gerakan dalam agama yang berupaya untuk merombak secara total suatu tatanan sosial /tatanan politis yang ada dengan menggemakan kekerasan. Terminologi “radikalisme” memang dapat saja beragam, tetapi secara essensial adanya pertentangan yang tajam antara nilai-nilai yang diperjuangkan  oleh kelompok agama tertentu di satu pihak dengan tatanan nilai yang berlaku saat itu. Adanya pertentangan yang tajam itu menyebabkan konsep radikalisme selalu dikaitkan dengan sikap dan tindakan yang radikal, yang kemudian dikonotasikan dengan kekerasan secara fisik. Istilah radikalisme berasal dari radix yang berarti akar, dan pengertian ini dekat dengan fundamental yang berarti dasar. Dengan demikian, radikalisme berhubungan dengan cita-cita yang diperjuangkan, dan melihat persoalan sampai ke akar-akarnya. Demikian juga halnya dengan fundamentalisme, berhubungan dengan cita-cita yang diperjuangkan, dan kembali ke azas atau dasar dari suatu ajaran.
Ada beberapa sebab yang memunculkan radikalisme dalam bidang agama, antara lain, 
(1) pemahaman yang keliru atau sempit tentang ajaran agama yang dianutnya, 
(2) ketidak adilan sosial, 
(3) kemiskinan, 
(4) dendam politik dengan menjadikan ajaran agama sebagai satu motivasi untuk membenarkan tindakannya, 
(5) kesenjangan sosial atau irihati atas keberhasilan orang lain.

Prof. Dr. H. Afif Muhammad, MA (2004:25) menyatakan bahwa munculnya kelompok-kelompok radikal (dalam Islam) akibat perkembangan sosio-politik yang membuat termarginalisasi, dan selanjutnya mengalami kekecewaan, tetapi perkembangan sosial-politik tersebut bukan satu-satunya faktor. Di samping faktor tersebut, masih terdapat faktor-faktor lain yang dapat menimbulkan kelompok-kelompok radikal, misalnya kesenjangan ekonomi dan ketidak-mampuan sebagian anggota masyarakat untuk memahami perubahan yang demikian cepat terjadi.


0 ulasan:

Catat Ulasan