Globalisasi
merupakan tantangan dan sekaligus peluang bagi eksistensi Agama Hindu dan
budaya Bali. Tidak ada satu bangsa atau budaya apapun di belahan dunia ini yang
tidak terlepas dari globalisasi atau era kesejagatan yang demikian tampak pesat
mendera setiap bangsa. Berbagai produk budaya global telah merambah berbagai
aspek kehidupan. Dampak positif budaya global sangat dirasakan oleh masyarakat
Bali. Ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Demikian pula alat-alat komunikasi, transportasi, dan informasi
yang sangat canggih memberikan peluang kepada masyarakat Bali yang memang
sangat terbuka, untuk berkomunikasi ke mana saja di belahan bumi ini. Wawasan
masyarakat Bali terbuka untuk memetik hal-hal yang baik dari manapun berasal
dan dengan kemampuannya yang selektif dan adaptif, menggunakan hal-hal yang
baik itu untuk merevitalisasi Agama Hindu dan budaya Bali. Di balik dampak
positif globalisasi, tidak dapat dihindari adalah dampak negatif budaya global
tersebut. Teknologi komunikasi dan informasi yang demikian maju memberi peluang
masuknya berbagai pengaruh budaya asing, ke dalam rumah dan bahkan ke dalam
kamar-kamar dan kepada pribadi masyarakat. Dampak negatif budaya global
tersebut merupakan dampak dari kehidupan modern. Muncul berbagai masalah di
antaranya masyarakat semakin individualis, kurangnya solidaritas. Berkembangnya
penyakit sosial seperti prostitusi, penyalahgunaan obat-obat psikotropika
(narkoba, ekstasi, dan sebagainya), pencurian, perampokan, dan bahkan
pemerkosaan.
Globalisasi
telah menimbulkan semakin tingginya intensitas pergulatan antara nilai-nilai
budaya lokal dan global. Sistem nilai budaya lokal yang selama ini digunakan
sebagai acuan oleh masyarakat tidak jarang mengalami perubahan karena pengaruh
nilai-nilai budaya global, terutama dengan adanya kemajuan teknologi informasi
mempercepat proses perubahan tersebut. Proses globalisasi telah pula merambah
kehidupan agama yang serba sakral menjadi sekuler, yang dapat menimbulkan
ketegangan bagi umat beragama. Nilai-nilai yang mapan selama ini telah
mengalami perubahan yang pada gilirannya menimbulkan keresahan psikologis dan
krisis identitas di kalangan masyarakat (Ardika, 2005:18).
Terlepas dari
dampak positif dan negatif globalisasi tersebut, tampak beragam respon
masyarakat Bali. Di satu pihak mereka optimis menghadapi tantangan globalisasi
tersebut, di pihak yang lain ada yang sangat pesimis dan khawatir terhadap
memudarnya berbagai nilai budaya Bali. Dalam situasi yang demikian, mantan Duta
Besar India, Vinod C. Khanna dan Malini Saran yang telah beberapa kali
mengunjungi Bali, dan menulis buku The Ramayana in Indonesia (2004) seperti
dikutip oleh Dharma Putra dan Widhu Sancaya (2005:XV) menyatakan bahwa Bali
dapat dijadikan satu contoh untuk Asia sebagai daerah yang memiliki kemampuan
untuk mengadaptasi budaya tradisional agar relevan dengan budaya global.
The island of
Balinever lost sight of this truth while facing up to the relentless onslaught
of tourism on its rich artistic heritage, and can be an example to the rest
Asia for its skill in adapting traditional cultural practices to suit a modern
context.
Berdasarkan kutipan tersebut dapat diketahui bahwa Agama Hindu dan budaya Bali mampu menghadapi budaya globabal, namun demikian kekhawatiran sebagian masyarakat tentang dampak negatif globalisasi perlu diusahakan jalan untuk mengatasi dan mungkin mencegahnya.
Berdasarkan kutipan tersebut dapat diketahui bahwa Agama Hindu dan budaya Bali mampu menghadapi budaya globabal, namun demikian kekhawatiran sebagian masyarakat tentang dampak negatif globalisasi perlu diusahakan jalan untuk mengatasi dan mungkin mencegahnya.
Seperti telah
disebutkan di atas, bahwa Agama Hindu menjadi jiwa dan sumber nilai budaya
Bali, untuk itu kiranya perlu diketengahkan bagaimana sinergi dan dinamika
Agama Hindu dengan budaya Bali dan melakukan fungsinya sesuai dengan budaya
Bali. Sinergi dan dinamika Agama Hindu di Bali telah melahirkan berbagai
kearifan lokal. Agama Hindu dan tidak menghapuskan tradisi masyarakat dan
budaya Bali sebelumnya, tetapi sebaliknya memberikan pencerahan kepada budaya
lokal. Berbagai kearifan lokal telah terbukti mampu menjadikan Agama Hindu dan
budaya Bali eksis sepanjang masa.
Pemahaman dan
Implementasi Agama yang sempit, keliru, dan inklusif
Dalam setiap
penganut agama terdapat tiga kelompok umat yang memahami agama yang dianutnya
itu dalam tiga sikap, yakni:
(1) sangat toleran, humanis, dan inklusif.
(2) sikap yang moderat, toleran, humanis, dan inklusif,
(3) sikap yang keras (radikal, ortodoks), tidak toleran, tidak humanis, dan eksklusif.
Munculnya sikap-sikap tersebut di atas, disebabkan oleh pemahaman terhadap agama yang dianutnya, yakni karena wawasan agama yang sempit, lokal, dan tradisional, berhadapan dengan sikap beragama yang rasional, global, dan universal. Lebih jauh dijelaskan beberapa pengertian dari istilah-istilah tersebut di atas.
(1) sangat toleran, humanis, dan inklusif.
(2) sikap yang moderat, toleran, humanis, dan inklusif,
(3) sikap yang keras (radikal, ortodoks), tidak toleran, tidak humanis, dan eksklusif.
Munculnya sikap-sikap tersebut di atas, disebabkan oleh pemahaman terhadap agama yang dianutnya, yakni karena wawasan agama yang sempit, lokal, dan tradisional, berhadapan dengan sikap beragama yang rasional, global, dan universal. Lebih jauh dijelaskan beberapa pengertian dari istilah-istilah tersebut di atas.
Toleran
berubah menjadi kata toleransi yang berarti menghargai perbedaan, perbedaan
karena sumber ajaran, teologis, budaya, etika dan sebagainya. Humanis berasal
dari kata human berarti manusia. Humanis berarti mengembangkan atau
mengimplementasikan ajaran agama yang penuh dengan pemahaman terhadap
kemanusiaan. Inklusif adalah sikap agama yang menekankan pengamalannya pada prilaku
yang rendah hati, toleran, tidak arogan. Moderat adalah sikap yang
lembut, tidak lembek, dan tidak keras, sedang eksklusif adalah menekankan
pengamalan agama pada bentuk luar, merasa paling benar, paling baik, dan tidak
ada yang melebihi apa yang mereka anut, sedang ortodok, artinya adalah selalu
berpegang kepada teks-teks atau kitab suci.
Radikalisme
agama menjadi pembicaraan yang tidak pernah berhenti selama satu dekade
ini. Bentuk-bentuk radikalisme yang berujung pada anarkisme, kekerasan dan bahkan
terorisme memberi stigma kepada agama-agama yang dipeluk oleh terorisme. Dalam
hal ini Frans Magnis Suseno (Jawa Pos, 2002:1) menyatakan, “Siapa pun
perlu menyadari bahwa sebutan teroris memang tidak terkait dengan ajaran suatu
agama, tetapi menyangkut prilaku keras oleh person atau kelompok. Karena itu,
cap teroris hanya bisa terhapus dengan prilaku nyata yang penuh toleran”.
Menurut Ermaya
(2004:1) radikalisme adalah paham atau aliran radikal dalam kehidupan politik.
Radikal merupakan perubahan secara mendasar dan prinsip. Secara umum dan dalam
ilmu politik, radikalisme berarti suatu konsep atau semangat yang berupaya
mengadakan perubahan kehidupan politik secara menyeluruh, dan mendasar tanpa
memperhitungkan adanya peraturan-peraturan /ketentuan-ketentuan konstitusional,
politis, dan sosial yang sedang berlaku. Ada juga menyatakan bahwa radikalisme
adalah suatu paham liberalisme yang sangat maju (Far Advanced Liberalism)
dan ada pula yang menginterpretasikan radikalisme sama dengan ekstremisme /fundamentalisme.
Pendeta Djaka
Sutapa (2004:1) menyatakan bahwa radikalisme agama merupakan suatu gerakan
dalam agama yang berupaya untuk merombak secara total suatu tatanan sosial
/tatanan politis yang ada dengan menggemakan kekerasan. Terminologi
“radikalisme” memang dapat saja beragam, tetapi secara essensial adanya
pertentangan yang tajam antara nilai-nilai yang diperjuangkan oleh
kelompok agama tertentu di satu pihak dengan tatanan nilai yang berlaku saat
itu. Adanya pertentangan yang tajam itu menyebabkan konsep radikalisme selalu
dikaitkan dengan sikap dan tindakan yang radikal, yang kemudian dikonotasikan
dengan kekerasan secara fisik. Istilah radikalisme berasal dari radix yang
berarti akar, dan pengertian ini dekat dengan fundamental yang berarti dasar.
Dengan demikian, radikalisme berhubungan dengan cita-cita yang diperjuangkan,
dan melihat persoalan sampai ke akar-akarnya. Demikian juga halnya dengan
fundamentalisme, berhubungan dengan cita-cita yang diperjuangkan, dan kembali
ke azas atau dasar dari suatu ajaran.
Ada beberapa
sebab yang memunculkan radikalisme dalam bidang agama, antara lain,
(1)
pemahaman yang keliru atau sempit tentang ajaran agama yang dianutnya,
(2)
ketidak adilan sosial,
(3) kemiskinan,
(4) dendam politik dengan menjadikan
ajaran agama sebagai satu motivasi untuk membenarkan tindakannya,
(5)
kesenjangan sosial atau irihati atas keberhasilan orang lain.
Prof. Dr. H.
Afif Muhammad, MA (2004:25) menyatakan bahwa munculnya kelompok-kelompok
radikal (dalam Islam) akibat perkembangan sosio-politik yang membuat
termarginalisasi, dan selanjutnya mengalami kekecewaan, tetapi perkembangan
sosial-politik tersebut bukan satu-satunya faktor. Di samping faktor tersebut,
masih terdapat faktor-faktor lain yang dapat menimbulkan kelompok-kelompok
radikal, misalnya kesenjangan ekonomi dan ketidak-mampuan sebagian anggota
masyarakat untuk memahami perubahan yang demikian cepat terjadi.
0 ulasan:
Catat Ulasan